- Home »
- WS Rendra
Umi Ayu Saputri
On Jumat, 29 Maret 2013
Rendra
(Willibrordus Surendra Bawana Rendra), lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November
1935 – meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun)
adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia
mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967. Ketika kelompok
teaternya kocar-kacir karena tekanan politik, kemudian ia mendirikan Bengkel
Teater Rendra di Depok, pada bulan Oktober 1985. Semenjak masa kuliah ia sudah
aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah.
Nama Pena : WS Rendra
Nama Asal : Willibrordus
Surendra Broto Rendra
Nama Setelah Memeluk
Islam : Wahyu Sulaiman Rendra
Memeluk Islam : 12
Agustus 1970
Seniman ini
mengucapkan dua kalimat syahadah pada hari perkawinannya dengan Sitoresmi pada
12
Ogos 1970, dengan disaksikan dua lagi tokoh sastra Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.
Ogos 1970, dengan disaksikan dua lagi tokoh sastra Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.
Gelar : Si Burung Merak
Julukan si Burung
Merak bermula ketika Rendra dan sahabatnya dari Australia berlibur di Kebun
Binatang Gembiraloka, Yogyakarta. Di kandang merak, Rendra melihat seekor merak
jantan berbuntut indah dikerubungi merak-merak betina. “Seperti itulah saya,”
tutur Rendra spontan. Kala itu Rendra memiliki dua isteri, iaitu Ken Zuraida
dan Sitoresmi.
Tempat Tanggal Lahir : Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935.
Tanggal Meninggal Dunia
: Kamis, 6 Agustus 2009 pukul 22.10 WIB di RS Mitra
Keluarga, Depok. Dimakamkan selepas solat Jumat 7 Agustus 2009 di TPU Bengkel
Teater Rendra, Cipayung, Citayam, Depok.
Agama : Islam
Istri :
1.
Sunarti
Suwandi (Menikah 31 Maret 1959 dikaruniai lima anak: Teddy Satya Nugraha,
Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Cerai 1981)
2.
Bendoro Raden
Ayu Sitoresmi Prabuningrat (Nikah 12 Agustus 1970, dikaruniai empat anak: Yonas
Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati. Cerai 1979)
3.
Ken Zuraida
(dikaruniai dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba).
Pendidikan:
·
TK
Marsudirini, Yayasan Kanisius.
·
SD s/d SMU
Katolik, St. Yosef, Solo - Tamat pada tahun 1955.
·
Jurusan
Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta - Tidak tamat.
·
Mendapat
beasiswa American Academy of Dramatical Art (1964 - 1967).
Rendra sebagai sastrawan
Bakat sastra Rendra
sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai
menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk
berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di
atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai
pembaca puisi yang sangat berbakat.
Ia petama kali
mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat.
Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada
saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu
terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya,
terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an.
"Kaki
Palsu" adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan
“Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan
dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya
sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra
Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan
Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau
kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari
karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Karya-karya Rendra
tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak
karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa
Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India.
Ia juga aktif
mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam
International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry
Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The
First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne,
Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala
Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).
Penghargaan
o
Hadiah
Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954)
o
Hadiah Sastra
Nasional BMKN (1956)
o
Anugerah Seni dari Pemerintah Republik
Indonesia (1970)
o
Hadiah
Akademi Jakarta (1975)
o
Hadiah
Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976)
o
Penghargaan
Adam Malik (1989)
o
The S.E.A. Write Award (1996)
o
Penghargaan Achmad Bakri (2006).
Beberapa karya
Drama :
§ Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
§ Bib Bob Rambate Rate Rata (Teater Mini Kata) –
1967
§ SEKDA (1977)
§ Selamatan Anak Cucu Sulaiman (dimainkan 6 kali)
§ Mastodon dan Burung Kondor (1972)
§ Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare,
dengan judul yang sama)- dimainkan dua kali
§ Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare,
dengan judul yang sama)
§ Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya
Sophokles, aslinya berjudul "Oedipus Rex")
§ Lysistrata (terjemahan)
§ Odipus di Kolonus (Odipus Mangkat) (terjemahan
dari karya Sophokles,
§ Antigone (terjemahan dari karya Sophokles,
§ Kasidah Barzanji (dimainkan 2 kali)
§ Lingkaran Kapur Putih
§ Panembahan Reso (1986)
§ Kisah Perjuangan Suku Naga (dimainkan 2 kali)
§ Shalawat Barzanji
§ Sobrat
Kumpulan Sajak/Puisi :
ü
Ballada
Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
ü
Blues untuk
Bonnie
ü
Empat
Kumpulan Sajak
ü
Sajak-sajak
Sepatu Tua
ü
Mencari Bapak
ü
Perjalanan Bu
Aminah
ü
Nyanyian
Orang Urakan
ü
Pamphleten
van een Dichter
ü
Potret
Pembangunan Dalam Puisi
ü
Disebabkan
Oleh Angin
ü
Orang Orang
Rangkasbitung
ü
Rendra:
Ballads and Blues Poem
ü
State of
Emergency
Kepergian Rendra
Penyair ternama WS
Rendra atau lebih terkenal dengan panggilan ‘Burung Merak’ meninggal dunia pada
usia 74 tahun di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Depok, Jawa Barat, pukul 10 malam
Kamis 6 Agustus 2009.
Penyair dan pelakon
drama yang nama lengkapnya Wahyu Sulaiman Rendra meninggalkan 11 orang anak
hasil dari tiga pernikahannya.
Rendra terkenal
dengan sajak-sajaknya yang penuh dengan sindiran dan kritikan cukup mahir
memainkan emosi penonton ketika melakukan pertunjukan.
Beliau yang lebih
akrab dipanggil Willy mencurahkan sebahagian besar hidupnya terhadap dunia
sastra dan teater. Menggubah serta mendeklamasi puisi, menulis skrip serta
bermain drama merupakan kemahirannya yang tidak ada bandingan.
Hasil seni dan sastra yang digarap cukup dikenali oleh peminat seni dalam maupun dari luar negeri.
Hasil seni dan sastra yang digarap cukup dikenali oleh peminat seni dalam maupun dari luar negeri.
Wahyu Sulaiman
Rendra bukanlah penyair biasa. Sajak dan puisinya padat dengan nada protes.
Jadi tidak heranlah Pemerintah Indonesia pernah melarang karya beliau untuk dipertunjukkan
pada tahun 1978.
Tidak hanya sajak
dan puisi yang sering menyebabkan rasa terusik hati pemerintah, bahkan dramanya
yang terkenal berjudul SEKDA dan Mastodon dan Burung Kondor juga menjadi
sasaran.
Di samping karya
berbau protes, sastrawan kelahiran Solo, 7 November 1935 ini juga sering
menulis karya sastera yang menyuarakan kehidupan kelas bawah seperti puisinya
yang berjudul Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta dan puisi Pesan Pencopet
Kepada Pacarnya.
Beliau mengasah
bakat di dalam bidang tersebut sejak menuntut di Fakultas Sastra dan Kebudayaan
Universitas Gadjah Mada. Pada saat itu cerpennya disiarkan di majalah seperti
Mimbar Indonesia, Basis, Budaya Jaya dan Siasat.
Dia juga menimba
ilmu di American Academy of Dramatical Art, New York, Amerika Syarikat.
Sekembalinya dari Amerika pada tahun 1967, jejaka yang tinggi semampai dan
berambut panjang itu mendirikan bengkel teater di Yogyakarta.
Tidak lama kemudian
bengkel teater tersebut dipindahkan ke Citayam, Cipayung, Depok, Jawa Barat.
Oleh kerna karya-karyanya yang begitu gemilang, Rendra beberapa kali pernah
tampil dalam acara bertaraf internasional. Sajaknya yang berjudul Mencari
Bapak, pernah dibacakannya dalam acara Peringatan Hari Ulang Tahun ke-118
Mahatma Gandhi pada 2 Oktober 1987, di depan para undangan The Gandhi Memorial
International School Jakarta.
Beliau juga pernah
ikut serta dalam acara penutupan Festival Ampel Internasional 2004 yang
berlangsung di halaman Masjid Al Akbar, Surabaya, Jawa Timur, 22 Julai 2004.
Meskipun sudah
terkenal, ternyata masih banyak keinginan WS Rendra yang belum dipenuhi dan
semua direkamkan dalam sebuah puisi yang dibuatnya beberapa hari sebelum Si
Burung Merak tersebut menghembuskan nafasnya yang terakhir.
“Dia meninggalkan
satu puisi, puisi itu menyebutkan bahawa masih banyak keinginannya tetapi dia
tidak mampu. Jadi semangat masih ada tapi dia tidak mampu mengatasi situasi
dirinya yang semakin lemah,” kata salah seorang sahabat Rendra, sastrawan Jose
Rizal Manua.
Puisi itu dibuat
Rendra ketika masih dirawat di rumah sakit dan puisi tersebut disampaikan oleh
salah seorang anak perempuan Rendra.
Dari segi
pernikahan – isteri pertama Rendra, Sunarti lebih dahulu meninggalkannya. Dari
perkahwinan dengan Sunarti, Rendra dikurniai lima orang anak yaitu Tedy, Andre,
Clarasinta, Daniel Seta dan Samuel.
Sementara istri
keduanya bernama Sitoresmi. Rendra memiliki empat orang anak hasil perkawinan
itu dan mereka ialah Yonas, Sara, Naomi dan Rachel. Namun Sitoresmi dan Rendra
akhirnya bercerai. Ken Zuraida adalah wanita terakhir yang dinikahi Rendra dan
memperoleh dua orang anak yaitu Isayasa Sadewa dan Mariam.
Kini dunia seni
kehilangan sosok Rendra, tetapi Si Burung Merak itu akan terus menjadi
inspirasi kepada generasi muda pencinta seni.
Puisi Terakhir WS Rendra
Aku lemas
Tapi
berdaya
Aku
tidak sambat rasa sakit
atau
gatal
Aku
pengin makan tajin
Aku
tidak pernah sesak nafas
Tapi
tubuhku tidak memuaskan
untuk
punya posisi yang ideal dan wajar
Aku
pengin membersihkan tubuhku
dari
racun kimiawi
Aku
ingin kembali pada jalan alam
Aku
ingin meningkatkan pengabdian
kepada
Allah
Tuhan,
aku cinta padamu
~ Rendra menulis puisi ini saat ia terbaring di rumah sakit Mitra Keluarga, Depok, 31 Juli.