- Home »
- Nuruddin ar-Raniri
Umi Ayu Saputri
On Sabtu, 01 Juni 2013
NURUDDIN
AR-RANIRI
Mata Kuliah :
Sastra Kitab
Disusun oleh
Umi Ayu Saputri
C0210071
JURUSAN SASTRA
INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS
SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
I.
PENDAHULUAN
Datangnya Islam ke Indonesia dilakukan secara
terang-terangan, seperti melalui jalur perdagangan, dakwah, kesenian dan
pendidikan yang semuanya mendukung proses
cepatnya Islam masuk dan berkembang
di Indonesia. Kegiatan pendidikan Islam di Aceh lahir, tumbuh dan berkembang
bersama dengan berkembanganya Islam di Aceh. Konversi massal masyarakat kepada
Islam pada masa perdagangan disebabkan oleh agama Islam merupakan agama yang
siap pakai.
Nama
lengkap Nuruddin ar-Raniri adalah Nuruddin Muhammad ibn ali ibn Hasanjii
al-Hamid atau (al-Humayd) al-Syafi’ai al-Asya’ari al-Aydarusi al-Raniri.
Nuruddin dilahirkan di Ranir (Rander), sebuah kota pelabuhan tua di Pantai
Gujarat, India. Walaupun tanah kelahirannya di India, nama Nuruddin ar-Raniri
lebih dikenal pada masa kini sebagai seorang ulama Nusantara. (Ahmad Taufiq:
2007, 35)
Tahun kelahiranya tidak diketahui
dengan pasti, tetapi kemungkinan besar menjelang Akhir ke-16, Ar-Raniri telah
wafat kurang lebih pada tahun 1658M. Pada tahun 1637, ia datang ke Aceh, dan
kemudian menjadi penasehat kesultanan di sana hingga tahun 1644. adapun
ajaran-ajaran tasawuf nueruddin Ar-Raniri yaitu: ajaran tentang Tuhan,
ajaran tentang Alam, ajaran tentang manusia, ajaran tentang wujudiyyah,
ajaran tentang hubungan Syari’at dan Hakikat.
Pembahasan tentang Nuruddin
ar-Raniri jika diungkapkan menyeluruh makan akan panjang sekali. Sehingga dalam
makalah ini hanya akan dijelaskan mengenai riwayat hidup Nuruddin ar-Raniri,
ajaran tasawuf Nuruddin ar-Raniri, dan karya-karya Nuriddin ar-Raniri.
II.
PEMBAHASAN
1.
Riwayat
Hidup Nuruddin ar-Raniri
Nama
lengkap Nuruddin ar-Raniri adalah Nuruddin Muhammad ibn ali ibn Hasanjii
al-Hamid atau (al-Humayd) al-Syafi’ai al-Asya’ari al-Aydarusi al-Raniri.
Nuruddin dilahirkan di Ranir (Rander), sebuah kota pelabuhan tua di Pantai
Gujarat, India. Walaupun tanah kelahirannya di India, nama Nuruddin ar-Raniri
lebih dikenal pada masa kini sebagai seorang ulama Nusantara. Tahun kelahiran
Nuruddin tidak diketahui pasti hanya Hasymi menyebut tahun kelaiharan Nuruddin
pada 1600 M. (Ahmad Taufiq: 2007, 35)
Nurrudin
agaknya mengikuti pola ulama Hadhrami. Dia mendapatkan pendidikan awalnya di
kota kelahirannya, Ranir. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya di wilayah
Hadhramawt. Setelah itu, kemudian dia melanjutkan perjalanannya ke Haramayn
karena pada 1030 H./1620 M atau 1031 H./1621 M. Nuruddin melaksanakan ibadah
haji di Haramayn kemungkinan besar ia menjalin hubungan dengan murid-murid
jamaah haji Jawi yang berada di sana sebelum kembali ke Gujarat.
Guru
Nuruddin yang paling terkenal dari India adalah Abu Hafs Umar ibn Abdullah Ba
Syaiban at-Tamiri, yang juga dikenal di Gujarat sebagai Sayyid Umar al-Aydarus.
Melalui guru ini Nuruddin masuk ke dalam tarekat Rif˜iyah. Tarekat ini
didirikan oleh Ahmad Rifa’i. Ba Syaiban menunjuk Nuruddin sebagai Khal §fah-nya
dalam tarekat itu dan karenanya Nuruddin bertanggung jawab untuk menyebarkan
tarekat Rif˜iyah di wilayah Nusantara. Walaupun demikian Nuruddin tidak hanya
masuk dalam tarekat Rif˜iyah saja, melainkan ia juga mempunyai silsilah dari
tarekat Aydarusiyah dan Qadiriyah.
Mengikuti
jejak pamannya, dan setelah membekali dirinya dengan pengalaman para ulama
sebelumnya, Nuruddin datang ke Aceh. Dalam perjalanannya menuju Aceh, ia
singgah di Semenanjung Tanah Melayu. Nuruddin berada di Semenanjung Tanah
Melayu terutama di Malaka dan Pahang pada 1618, pada 1630 Nuruddin meneruskan
perjalanan ke Aceh. Saat itu Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Meukuta Alam.
Perjalanan Nuruddin ke Aceh dianggap perjalanan yang pertama. Di Semenanjung
Tanah Melayu Nuruddin belajar bahasa dan sastra Melayu.
Kedatangan
Nuruddin ke Aceh yang pertama tampaknya tidak mendapat sambutan dan penerimaan
yang layak dari pihak istana Sultan Iskandar Muda. Nuruddin tidak mendapatkan
posisi politik apapun. Ia hanya dipercaya untuk mengajar para kanak-kanak. Maka
dari itu ia meneruskan perjalanan ke daerah lain. Pada waktu Sultan Iskandar
Muda berkuasa ulama yang berpengaruh dalam pemerintahan adalah Syamsuddin
Sumatrani. Saat Syamsuddin dan Sultan Iskandar Muda berturut-turut meninggal,
Nuruddin datang kembali ke Aceh. Dia segera ditunjuk sebagai syekh Islam
menggantikan kedudukan Syamsuddin. Kedudukan ini didapat Nuruddin karena
pengganti Sultan Iskandar Muda adalah Sultan Iskandar Tsani, murid ketika masih
kanak-kanak.karena kedudukannya syekh ini Nuruddin menjadi orang kedua setelah
Sultan.
Setelah
mendapat kedudukan terhormat dalam pemerintah dan pijakan kuat di istana sultan
Aceh, Nuruddin mulai melancarkan pembaharuan Islamnya di Aceh. Menurutnya Islam
di Aceh telah dikacaukan kesalahpahaman atas doktrin mistikisme. Nuruddin
dengan tulisannya membantah ajaran wujudiyah dari para pengikut Hamzah Fansuri
dan Syamsuddin Sumatrani. Setelah hidup setahun di Aceh, atas perintah Sultan
Iskandar Tsani, Nuruddin mulai menulis Bust˜n-Sal˜t§n. Menurut Sultan Iskandar
Tsani karya ini termasuk karya terbesar Nuruddin.
Pada
masa Sultan Iskandar Muda telah berkemabng ajaran wujudiyah yang menurut
Nuruddin akan membahayakan umat Islam Aceh di bidang akidah. Ia berusaha
meluruskan dan mengembalikan kepala ajaran yang menurutnya benar. Usaha itu
dilakukan dengan mengadakan diskusi terbuka dengan pengikut-pengikut ajaran
tasawuf yang salah. Nuruddin mengetahui bahwa ajaran tasawuf yang sesat ini
disebarkan oleh ulama pendahulunya, yaitu Hamzah Fansuri dan Syamsuddin.
Selain
melakukan diskusi dan membakar buku tasawuf wujudiyah yang sesat itu, Nuruddin
juga menggunakan penanya untuk membantah dan menyanggah tasawuf wujudiyah yang
sesat. Untuk itu ia menulis ajaran-ajaran tasawuf yang benar dalam pelbagai
karya. Tasawuf yang menurutnya benar disebut wujudiyah muwahhid, sedangkan yang
menurutnya salah adalah wujudiyah mulhidah. Oleh karena itu Nuruddin lebih
dikenal sebagai ulama bidang tasawuf.
Pola
mendapat perlindungan Sultan berakhir. Nuruddin tiba-tiba meninggalkan Aceh dan
menuju kota kelahirannya Ranir pada 1054 H./1644 M. Peristiwa itu dicatat oleh
seorang murid Nuruddin dalam kolofon salah satu karya Nuruddin.
Sebagaimana
disebutkan dalam karyanya Nuruddin kembali ke Ranir pada 1054 H./1644 M. Ia
menghabiskan sisa umurnya selama empat belas tahun di kota kelahirannya. Meski
ia jauh dari Aceh dan Nusantara, ia mempertahankan kepeduliannya terhadap
orang-orang Islam di negeri di bawah kedatangan Nuruddin sedikitnya penulis
tiga karya yang berkaitan dengan masalah-masalah yang sering dihadapi
masyarakat Aceh. Nuruddin meninggal pada 22 Zulhijah 1069 H./21 September 1658
M.
2.
Ajaran
Tasawuf Nuruddin ar-Raniri
a.
Tentang Tuhan
Pendirian Ar-Raniri dalam masalah ketuhanan pada umumnya
bersifat kompromis. Ia berupaya menyatukan paham mutakalimmin dengan paham para
sufi yang diwakili Ibn ‘Arabi. ia berpendapat bahwa ungkapan” wujud Allah dan Alam Esa” berarti
bahwa alam ini merupakan sisi lahiriah dari hakikatnya yang batin, yaitu Allah,
sebagaimana yang dimaksud Ibn ‘Arabi. Namun, ungkapan itu pada hakikatnya
menjelaskan bahwa alam ini tidak ada. yang ada hanyalah wujud Allah Yang Esa.
Jadi tidak dapat dikatakan bahwa alam ini berbeda atau bersatu dengan Allah.
Pandangan Al-Raniri hampir sama dengan Ibn ‘Arabi bahwa alam ini merupakan tajalliAllah. Namun, tafsiranya
di atas membuatnya terlepas dari label panteisme Ibn ‘Arabi.
b.
Tentang Alam
Ar-Raniri berpandangan bahwa alam ini diciptakan Allah
melalui tajalli. Ia
menolak teori Al-faidh (emanasi)
Al-Farabi karena hal itu dapat memunculkan pengakuan bahwa alam ini qadim sehingga
menjerumuskan pada kemusyrikan. Alam dan falak, menurutnya, merupakan
wadah tajalli asma
dan sifat Allah dalam bentuk yang kongkret. Sifat ilmu ber-tajalli pada alam akal; Nama
Rahman ber-tajalli pada arsy; Nama Rahim ber-tajalli pada kursy; Nama Raziq ber-tajalli pada falak ketujuh;
dan seterusnya.
c.
Tentang Manusia
Manusia, menurut Ar-Raniri, merupakan mahluk Allah yang
paling sempurna di dunia sebab manusia merupakan khalifah Allah di bumi yang
dijadikan dengan citra-Nya. Juga, karena ia mazhhar ( tempat kenyataan asma dan sifat Allah paling
lengkap dan menyeluruh). Konsep insan
kamil, katanya, pada dasarnya hampir sama dengan apa yang telah
digariskan Ibnu ‘Arabi.
d.
Tentang Wujudiyyah
Inti ajaran wujudiyyah,
menurut Ar-Raniri, berpusat pada wahdat
Al-wujud dapat membawa kepada kekafiran. Ar-Raniri
berpandangan bahwa jika benar Tuhan dan mahluk hakikatnya satu, dapat dikatakan
bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia dan jadilah seluruh mahluk
sebagai Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, baik buruk atau baik, Allah turut
serta melakukanya. Jika demikian halnya, maka manusia mampu mempunyai
sifat-sifat Tuhan.
e.
Tentang Hubungan Syari’at dan Hakikat
Pemisahan antara syariat dan hakikat, menurut Ar-Raniri
merupakan sesuatu yang tidak benar. Untuk menguatkan argumentasina, ia
mengajukan beberapa pendapat pemuka sufi, diantaranya adalah Syeikh Abdullah
Al-Aidarusi yang menyatakan bahwa tidak ada jalan menuju Allah, kecuali melalui
syari’at yang merupakan pokok dan cabang islam.
Sikap keras Nuruddin ini juga terlihat pada waktu
menentang kaum wujudiyyahyang
telah berkembang pesat di Aceh pada abad ke-16 dan ke-17 M. Penentangan
Nuruddin terhadap ajaran tasawuf Hamzah dan Syamsuddin tertuang di dalam
kitab-kitab karanganya yang kurang lebih berjumlah 30 judul. Kitab-kitab
tersebut antara lain berjudul Tibyan
fi Ma’rifatil-Adyan, Ma’ul-Chaya li Ahli-Mamat, Fatchul-Mubin ‘alal-Mulchidin,
Chujjatus-Shiddiq li Daf’iz-Zindiq, Syifaul-Qulub, Jawahirul-‘Ulum fi
kasyil-Ma’lum, Chilluzh-Zhill, dan lain sebagainya.
Perbedaan pemikiran sufistik antara Hamzah dan Syamsuddin
dengan Nuruddin di atas mendorong ulama India untuk datang dan menetap di Aceh.
karena itu ada beberapa alasan kedatangan Nuruddin ke Aceh. Ia datang untuk
pertama kalinya ke Aceh mungkin karena mengikuti jejak pamanya Syekh Muhammad
Jailani bin Hasan bin Muhammad Hamid ar-Raniri yang tiba di Aceh pada tahun
1588 M. Nuruddin menulis kitab Ash-Shirathal Mustaqim (jalan yang lurus) yang
mulai di tulisnya pada tahun 1044 H atau tahun 1633M, yaitu sebelum ia menetap
di Aceh. Kedua, Nuruddi datang ke Aceh mungkin juga disebabkan oleh Krisis
Akidah yang telah terjadi di dalam masyarakat Aceh, yaitu pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda yang memerintah tahun 1603-1636 M. Nuruddin datang ke Aceh
mungkin disebabkan oleh perebutan kekuasaan, baik jabatan sultan maupun
penasihat sultan.
Kedatangan Nurrudin ke Aceh selain disebabkan oleh beberapa
hal sebagaimana telah dikemukan di atas juga disebabkan oleh unsur politik,
yaitu perebutan kekuasaan dalam jabatan penasihat sultan ataupun jabatan
sultan. Karena itu, perbedaan pemikiran dan keyakinan (perang nonfisik)
antara Hamzah dan Syamsuddin dengan Nuruddin sekarang ini pengaruhnya sudah
berkurang dan berbagai kalangan telah menerima perbedaan itu, terutama kalangan
Kampus. Akan tetapi, secara politis (perang secara fisik) sampai sekarang
pengaruhnya masih terasa.
3.
Karya-karya
Nuruddin ar-Raniri
Karya-karya
yang ditulis oleh Nuruddin berjumlah banyak sekali, baik berbahasa Arab ataupun
Melayu. Karya Nuruddin sebanyak 29 karya. Tiga karya dikerjakannya di Ranir.
Berikut adalah karya-karya Nuruddin.
1)
Hujjah al-Shiddiq li Daf’i al-Zindiq.
2)
Nubdzah fi da’wa al-Zhill ma’a
Shahibihi.
3)
Hill al-Zhill.
4)
Shirath al-Mustaqim.
5)
Asarar al-Insan fi Ma’rifah al-Ruh wa
al-Rahman.
6)
Akhbar al-Akhirah fi Ahwal al-Qiyamah.
7)
Tibyan fi ma’rifah al-Adyan.
8)
Bustan al-Salatin.
9)
Hidayah al-Habib fi Targhib wa
al-Tarhib.
10)
Lathai if al-Asrar.
11)
Dzurrah al-faraizh bi Syarh al-Aqa’id.
12)
Ma’ul al-hayat li Ahl al-Mamat.
13)
Jawahir al-‘Ulum fi Kasyf al-Ma’lum.
14)
‘Ain al-Alam qabla an Yukhlaq.
15)
Syifa’ al-Qulub.
16)
Al-lama’an fi takfir Man Qala bi Khalq
al-Qur’an.
17)
Shawarim al-Syiddiq li Qath’i al-Zindiq.
18)
Bad’u Khalq al-Samawat wa al-Ardh.
19)
Kaifiyah al-Shalah.
20)
Hidayah al-Iman bi Fadhl al-Mannan.
21)
Muhammadah al-I’tiqad.
22)
Tanbih al-Amil fi Tahqiq al-Kalam fi
al-Nawafil.
23)
Al-Fath al-wadudu fi Bayan Wahdah
al-Wujud.
24)
‘Ain al-Jawwad fi Bayan Wahdah al-Wujud.
25)
Awzhah al-Sabil wa al-Dala’il laisa li
Abathil al-Mulhidin.
26)
Syadzar al-Mazid.
27)
Al-Fath al-Mubin ala al-Muhtadin.
28)
Rahiq al-Muhammadiyah fi Thariq
al-Shufiyah.
29)
Jawaban atas pertanyaan Sultan Banten.
4.
Pengaruh
Nuruddin ar-Raniri
Berdasarkan
paparan sebelumnya, Al-Raniri merupakan sosok ulama yang memiliki banyak
keahlian. Dia seorang sufi, teolog, faqih (ahli hukum), dan bahkan politisi.
Keberadaan Al-Raniri seperti ini sering menimbulkan banyak kesalahpahaman,
terutama jika dilihat dari salah satu aspek pemikiran saja. Maka sangat wajar,
jika beliau dinilai sebagai seorang sufi yang sibuk dengan praktek-praktek
mistik, padahal di sisi lain, Al-Raniri adalah seorang faqih yang memiliki
perhatian terhadap praktek-praktek syariat. Oleh karena itu, untuk memahaminya
secara benar, haruslah dipahami semua aspek pemikiran, kepribadian dan
aktivitasnya.
Keragaman
keahlian Al-Raniri dapat dilihat kiprahnya selama. di Aceh. Meski hanya
bermukim dalam waktu relatif singkat, peranan Al-Raniri dalam perkembangan
Islam Nusantara tidak dapat diabaikan. Dia berperan membawa tradisi besar Islam
sembari mengeliminasi masuknya tradisi lokal ke dalam tradisi yang dibawanya
tersebut. Tanpa mengabaikan peran ulama lain yang lebih dulu menyebarkan Islam
di negeri ini, Al-Ranirilah yang menghubungkan satu mata rantai tradisi Islam
di Timur Tengah dengan tradisi Islam Nusantara.
Bahkan,
Al-Raniri merupakan ulama pertama yang membedakan penafsiran doktrin dan
praktek sufi yang salah dan benar. Upaya seperti ini memang pernah dilakukan
oleh para ulama terdahulu, seperti Fadhl Allah Al-Burhanpuri. Namun,
Al-Burhanpuri tidak berhasil merumuskannya dalam penjabaran yang sisternatis
dan sederhana, malahan membingungkan para pengikutnya, sehingga Ibrahim
Al-Kurani harus memperjelasnya. Upaya-upaya lebih lanjut tampaknya pernah juga
dilakukan oleh Hamzah Fansuri dan Samsuddin Al-Sumaterani, tetapi keduanya
gagal memperjelas garis perbedaan antara Tuhan dengan alam dan makhluk
ciptaannya (Azra: 1994).
Oleh
karena itu, dalam pandangan Al-Raniri, masalah besar yang dihadapi umat Islam,
terutama di Nusantara, adalah aqidah. Paham immanensi antara Tuhan makhluknya
sebagaimana dikembangkan oleh paham wujudi"ah merupakan praktek sufi yang
berlebihan. Mengutip doktrin Asy'ariyyah, Al-Raniri berpandangan bahwa antara
Tuhan dan alam raya terdapat perbedaan (mukhalkfah), sementara antara manusia
dan Tuhan terdapat hubunpn transenden.
Selain
secara umum Al-Raniri dikenal sebagai syeikh Rifaiyyah, ia juga memiliki mata
rantai dengan tarekat Aydarusiyyah dan Qadiriyyah. Dari tarekat Aydarusiyyah
inilah Al-Raniri dikenal sebagai ulama yang teguh mernegang akar-akar tradisi
Arab, bahkan simbol-simbol fisik tertentu dari budayanya, dalam menghadapi
lokal. Tidak hanya itu, ketegasan Al-Raniri dalam menekankan adanya keselarasan
antara praktek mistik dan syari'at merupakan bagian dari ajaran tarekat
Aydarusiyyah.
Dari
paparan di atas, sepintas memang belum banyak pembaruan yang telah dilakukan
oleh Al-Raniri, kecuali mempertegas paham Asy'ariyyah, memperjelas
praktek-praktek syariat, dan sanggahan terhadap paham wujudiyyah. Di sinilah
dibutuhkaan kejelian untuk memandang Al-Raniri secara utuh, baik kirah, pikiran
maupun karya-karyanya (Azra: 1994). Bahkan, dari catatan sanggahan Al-Raniri
terhadap paham wujudiyyahlah dapat ditemukan, sejumlah pembaruan terutama dalam
hal metodologi. Penulisan ilmiah, dimana beliau selalu mencantumkaan
argumentasi berikut referensinya. Dari cara seperti ini pula dalam
perkembangannya ditemukan sejumlah ulama -ulama baru yang belum pernah diungkap
oleh penulis-penulis lain sebelumnya, berikut pemikiran-pemikiran yang baru.
Meski
Al-Raniri berpengaruh besar dalam perkembangan Islam Nusantara, tetapi hingga
kini belum ditemukan para muridnya secara langsung, kecuali Syeikh Yusuf
Al-Maqassari. Al-Maqassari dalam kitabnya, Safinat al-Najah menjelaskan bahwa
dari Al-Ranirilah diperoleh silsilah tarekat Qadiriyyah, karena Al-Raniri
adalah guru sekaligus syeikhnya. Hanya saia, bukti ini belum dianggap valid,
karena belum diketahui kapan dan dimana mereka bertemu. Kesulitan lainnya juga
akan muncul ketika dicari hubungan dan jaringan Al-Raniri dengan para ulama
lain penyebar agama Islam di wilayah Nusantara, ataupun para ulama asli
Nusantara yang berkelana sampai ke Timur-Tengah. Yang ada hanyalah kemungkinan
bertemunya Al-Raniri dengan para jamaah haji dan para pedatang dari Nusantara
yang kebetulan menuntut ilmu di tanah haram, tepatnya ketika Al-Raniri bermukim
di Makkah dan Madinah (1621 M). Pertemuan inilah yang diduga adanya komunikasi
langsung dengan para muridnya dari Nusantara, termasuk dengan Al-Maqassari.
Kesulitan
ini juga terus berlanjut, jika dikaitkan dengan keingianan mencari hubungan
Al-Raniri dengan dunia pesantren di wilayah Nusantara. Pasalnya, selain tiada
literatur yang menunjukkan hal tersebut, manuskrip-manuskrip yang berkaitan
dengan pesantren pun tidak menunjukkan adanya hubungan tersebut. Meski
demikian, bukan berarti Al-Raniri tidak memiliki keterkaitan sama sekah dengan
dunia pesantren. Setidaknya, peran Al-Maqassari dan para jamaah haji serta para
muridnya di Makkah dan Madinah yang kemudian kembali ke tanah air merupakan
keterkaitan tidak langsung Al-Raniri dengan dunia pesantren di Indonesia.
Ada
yang berpendapat bahawa beliau meninggal dunia di India. Pendapat lain menyebut
bahawa beliau meninggal dunia di Aceh. Ahmad Daudi, menulis: "Maka
tiba-tiba dan tanpa sebab-sebab yang diketahui, Syeikh Nuruddin ar-Raniri
meninggalkan Serambi Mekah ini, belayar kembali ke tanah tumpah darahnya yang
tercinta, Ranir untuk selama-lamanya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1054 H
(1644 M)." Bahawa beliau meninggal dunia pada 22 Zulhijjah 1069 H/21
September 1658 M. Tetapi Karel A. Steenbrink dalam bukunya, Mencari Tuhan
Dengan Kacamata Barat berpendapat lain, bahawa hingga tahun 1644 M bererti
Syeikh Nuruddin masih berada di Aceh. Menurutnya terjadi diskusi yang terlalu
tajam antara beberapa kelompok pemerintah: Seorang uskup agung (ar-Raniri) di
satu pihak dan beberapa hulubalang dan seorang ulama dari Sumatera Barat di
pihak lain. Pihak yang anti ar-Raniri akhirnya menang, sehingga ar-Raniri
dengan tergesa-gesa kembali ke Gujarat. Tulisan Karel itu barangkali ada
benarnya, kerana secara tidak langsung Syeikh Nuruddin mengaku pernah kalah
berdebat dengan Saiful Rijal, penyokong fahaman Syeikh Hamzah al-Fansuri dan
Syeikh Syamsuddin as-Sumatra-i, perkara ini beliau ceritakan dalam kitab Fath
al-Mubin.
Ada
pun tempat meninggalnya, H.M. Zainuddin, berbeza pendapat dengan Ahmad Daudi di
atas. Menurut Zainuddin dalam Tarich Atjeh Dan Nusantara, jilid 1, bahawa terjadi
pertikaian di istana, dalam perebutan itu telah terbunuh seorang ulama, Faqih
Hitam yang menentang tindakan Puteri Seri Alam. Dalam pada itu Syeikh Nuruddin
diculik orang, kemudian mayatnya diketemukan di Kuala Aceh. Menurut H.M.
Zainuddin pula, bahawa makam Syeikh Nuruddin itu dikenal dengan makam keramat
Teungku Syiahdin (Syeikh Nuruddin ar-Raniri) terletak di Kuala Aceh.
Dalam
masa pemerintahan Iskandar Muda, kerajaan Aceh maju, ajaran sufi tidak
menghalang kemajuan yang berasaskan Islam. Sebaliknya masa pemerintahan
Iskandar Tsani, ajaran sufi dianggap sesat, ternyata kerajaan Aceh mulai
menurun. Bantahan terhadap sesuatu pegangan yang pernah berkembang di dunia
Islam perlulah ditangani dengan penuh kebijaksanaan. Siapa saja yang memegang
urusan keislaman janganlah tersalah penilaian, sering terjadi yang benar
menjadi salah, atau sebaliknya yang salah menjadi benar.
III.
SIMPULAN
Nuruddin
ar-Raniri adalah Nuruddin Muhammad ibn ali ibn Hasanjii al-Hamid atau
(al-Humayd) al-Syafi’ai al-Asya’ari al-Aydarusi al-Raniri. Nuruddin dilahirkan
di Ranir (Rander), sebuah kota pelabuhan tua di Pantai Gujarat, India. Walaupun
tanah kelahirannya di India, nama Nuruddin ar-Raniri lebih dikenal pada masa
kini sebagai seorang ulama Nusantara.
Tahun kelahiranya tidak diketahui
dengan pasti, tetapi kemungkinan besar menjelang Akhir ke-16, Ar-Raniri telah
wafat kurang lebih pada tahun 1658M. Pada tahun 1637, ia datang ke Aceh, dan
kemudian menjadi penasehat kesultanan di sana hingga tahun 1644. adapun
ajaran-ajaran tasawuf nueruddin Ar-Raniri yaitu: ajaran tentang Tuhan,
ajaran tentang Alam, ajaran tentang manusia, ajaran tentang wujudiyyah,
ajaran tentang hubungan Syari’at dan Hakikat.
Ar-Raniri memiliki pengetahuan luas
yang meliputi tasawuf, qalam, fiqih, hadits, sejarah, dan perbandingan agama.
Selama masa hidupnya, ia menulis kurang lebih 29 kitab, yang paling terkenal
adalah “Bustanul Salatin.”. namanya kini di abadikan sebagai nama perguruan
tinggi negeri agama (IAIN) di Bandah Aceh.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Taufiq.
2007. Sastra Kitab. Surakarta: UNS.
http://tgkboy.blogspot.com/2013/04/biografi-nuruddin-ar-raniri-ulama-besar.html.
Diakses pada Jumat, 24 Mei 2013, pukul 21.22 WIB.
http://Wikipedia.Org/wiki/Nuruddin Ar-Raniri. Diakses pada Jumat,
10 Mei 2013, pukul 23.39 WIB.