- Home »
- Hukum Memakai Cincin Selain dari Emas Bagi Laki-Laki
Umi Ayu Saputri
On Kamis, 28 Maret 2013
Dari Abdullah bin Buraidah,
dari ayahnya, dia berkata:
أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ خَاتَمٌ مِنْ شَبَهٍ
فَقَالَ لَهُ مَا لِي أَجِدُ مِنْكَ رِيحَ الْأَصْنَامِ فَطَرَحَهُ ثُمَّ جَاءَ
وَعَلَيْهِ خَاتَمٌ مِنْ حَدِيدٍ فَقَالَ مَا لِي أَرَى عَلَيْكَ حِلْيَةَ أَهْلِ
النَّارِ فَطَرَحَهُ
“Sesungguhnya ada seorang
laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan cincin
terbuat dari kuningan. Lalu Beliau bersabda kepadanya: “Kenapa saya mencium
darimu aroma berhala?” lalu dia membuangnya. Kemudian datang kepadanya yang
memakai cincin dari besi, lalu Beliau bersabda kepadanya: “Kenapa saya
melihatmu memakai perhiasan penduduk neraka?” lalu dia membuangnya. (HR. Abu
Daud No. 4223. An Nasa’i No. 5159, lafaz ini milik Abu Daud)
ثم أتاه وعليه خاتم من ذهب فقال
مالي أرى عليك حلية أهل الجنة
Kemudian datang kepadanya
seseorang yang memakai cincin dari emas. Lalu Beliau bersabda: “Kenapa saya
melihat padamu perhiasan penduduk surga?” (HR. At Tirmidzi No. 1785, katanya:
gharib)
Hadits ini sering dijadikan dalil
keharaman memakai cincin buat laki-laki baik dari kuningan, besi, perak, dan
emas. Tetapi, semua riwayat ini dhaif. (Lihat Adabuz Zifaf Hal. 128. Al Misykah
No. 4396. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4223. Shahih wa Dhaif Sunan An
Nasa’i No. 5159)
Kedhaifan ini lantaran dalam
sanadnya terdapat Abdullah bin Muslim Abu Thayyibah As Sulami Al Mawarzi. Abu
Hatim Ar Razi mengatakan: haditsnya ditulis tetapi dia tidak bisa dijadikan
hujjah. (Al Jarh wa Ta’dil, 5/165/671. Darul Kutub Al Mishriyah)
Imam Ibnu Hibban mengatakan: dia
melakukan kesalahan dan berselisih. (Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al Azhim
Abadi, ‘Aunul Ma’bud, 11/191. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Maka dalam
masalah ini, ketiadaan dalil pengharaman, merupakan dalil bagi kebolehan. Kita
mesti kembali kepada bara’atul ashliyah (kembali kepada hukum asal) yakni
bolehnya memakai cincin selain emas, baik itu besi, kuningan, dan perak, atau
logam lainnya walau berharga tinggi.
Imam Asy Syafi’i Rahimahullah
mengatakan:
ولا اكره للرجل لبس اللؤلؤ إلا
للادب وأنه من زى النساء لا للتحريم ولا أكره لبس ياقوت ولا زبرجد إلا من جهة
السرف أو الخيلاء
“Saya tidak memakruhkan bagi
laki-laki yang memakai mutiara, kecuali karena adab saja sebab itu merupakan
hiasan wanita, tidak menunjukkan haram. Dan saya tidak memakruhkan memakai
yaqut dan permata, kecuali jika berlebihan dan sombong.” (Al Umm, 1/254. Darul
Fikr)
Orang-orang mulia pun memakainya,
Imam Ahmad menyebutkan bahwa Abdullah bin Mas’ud memakai cincin besi (Imam Ibnu
Abdil Bar, At Tamhid, 17/113. Muasasah Al Qurthubah). Sedangkan Syuraik sebelum
diangkat menjadi qadhi, juga Imam Abu Hanifah, memakai cincin perak. (Ibid,
17/115) kalau pun banyak para salaf yang tidak memakai cincin tidak berarti
mereka mengharamkan.
Tentang cincin besi, Imam An
Nawawi mengatakan:
وَلِأَصْحَابِنَا فِي كَرَاهَته
وَجْهَانِ : أَصَحّهمَا لَا يُكْرَه لِأَنَّ الْحَدِيث فِي النَّهْي عَنْهُ ضَعِيف
“Dan bagi sahabat-sahabat kami,
tentang kemakruhan memakai cincin besi ada dua pendapat, yang paling benar
adalah tidak makruh. Karena hadits tentang larangannya adalah dhaif. (Al Minhaj
Syarh Shahih Muslim, 5/134. Mauqi’ Ruh Al Islam)
Adapun keharaman emas bagi
laki-laki telah ditegaskan oleh banyak riwayat shahih, bahkan mutawatir. Ada pun
selain emas, maka pihak yang mengharamkan tidak memiliki pijakan yang kuat.
Oleh karena itu berkata Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al Azhim Abadi tentang
perak:
قُلْت : وَالْحَدِيث مَعَ ضَعْفه
يُعَارِض حَدِيث أَبِي هُرَيْرَة مَرْفُوعًا بِلَفْظِ ” وَلَكِنْ عَلَيْكُمْ
بِالْفِضَّةِ فَالْعَبُوا بِهَا ” أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَسَيَأْتِي
وَإِسْنَاده صَحِيح ، فَإِنَّ هَذَا الْحَدِيث يَدُلّ عَلَى الرُّخْصَة فِي
اِسْتِعْمَال الْفِضَّة لِلرِّجَالِ ، وَأَنَّ فِي تَحْرِيم الْفِضَّة عَلَى
الرِّجَال لَمْ يَثْبُت فِيهِ شَيْء عَنْ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَإِنَّمَا جَاءَتْ الْأَخْبَار الْمُتَوَاتِرَة فِي تَحْرِيم الذَّهَب
وَالْحَرِير عَلَى الرِّجَال فَلَا يَحْرُم عَلَيْهِمْ اِسْتِعْمَال الْفِضَّة
إِلَّا بِدَلِيلٍ وَلَمْ يَثْبُت فِيهِ دَلِيل . وَاَللَّه أَعْلَم
“Saya berkata: hadits ini
bersamaan kedhaifannya telah bertentangan dengan hadits Abu Hurairah secara
marfu’ dengan lafaz: “Tetapi hendaknya kalian memakai perak maka bermainlah
dengannya..” Dikeluarkan oleh Abu Daud dalam hadits selanjutnya, dengan sanad
yang shahih. Hadits ini menunjukkan keringanan dalam menggunakan perak bagi
laki-laki, ada pun pengharaman perak bagi laki-laki tidak ada satu pun yang
shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang ada hanyalah riwayat
mutawatir tentang pengharaman emas dan sutera bagi laki-laki. Maka, tidaklah
mereka diharamkan memakai perak kecuali dengan dalil, dan ternyata tidak ada
dalil yang kuat dalam masalah ini. Wallahu A’lam.” (Ibid, 11/190)
Imam Asy Syaukani juga menyatakan
kebolehannya, menurutnya tidak satu pun hadits shahih tentang pengharaman
cincin perak, dan beliau juga menyebutkan hadits “Tetapi hendaknya kalian
memakai perak maka bermainlah dengannya sesuai selera,” sebagai penguat
kebolehannya. (Nailul Authar, 1/67. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)
Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al
Badr mengatakan:
وأن خاتم النبي صلى الله عليه وسلم
كان من فضة، وأنه توفي وهو في يده، ثم صار في يد أبي بكر ثم في يد عمر ثم في يد
عثمان ، وفي أثناء خلافته سقط من يده في بئر أريس. فاتخاذ الخاتم من الفضة ثبتت
فيه الأحاديث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Sesungguhnya cincin Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terbuat dari perak, ketika beliau wafat cincin
itu masih ditangannya, lalu berpindah tangan ke Abu Bakar, kemudian ke tangan
Umar, kemudian Utsman. Ketika masa kekhilafahan Utsman jatuh dari tangannya ke
sumur urais. Menggunakan cincin perak telah dikuatkan oleh berbagai hadits dari
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al
Badr, Syarh Sunan Abi Daud, No. 473. Maktabah Misykah)
Imam Ibnu Muflih mengatakan:
لاَ أَعْرِفُ عَلَى تَحْرِيمِ
لُبْسِ الْفِضَّةِ نَصًّا عَنْ أَحْمَدَ وَكَلاَمُ شَيْخِنَا ( يَعْنِي ابْنَ
تَيْمِيَّةَ ) يَدُل عَلَى إِبَاحَةِ لُبْسِهَا لِلرِّجَال إِلاَّ مَا دَل
الشَّرْعُ عَلَى تَحْرِيمِهِ ، أَيْ مِمَّا فِيهِ تَشَبُّهٌ أَوْ إِسْرَافٌ أَوْ
مَا كَانَ عَلَى شَكْل صَلِيبٍ وَنَحْوِهِ
“Aku tidak mengetahui adanya
perkataan dari Imam Ahmad tentang pengharaman memakai perak. Dan ucapan syaikh
kami (yakni Ibnu Tamiyah) menunjukkan kebolehan memakai perak bagi laki-laki,
kecuali jika ada dalil syara’ yang menunjukkan keharamannya, yaitu apa-apa yang
di dalamnya terdapat penyerupaan (dengan emas) dan berlebihan, atau yang
bentuknya menyerupai salib, dan lainnya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al
Kuwaitiyah, 18/111)
Ulama dari Hanafiyah, Syafi’iyah,
dan Hanabilah membolehkan memakai cincin walaupun sedang ihram. (Ibid, 2/170)
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah
bin Baz Rahimahullah mengatakan:
لا حرج في لبس الساعة في اليد
اليمنى أو اليسرى كالخاتم وقد ثبت عن النبي ، – صلى الله عليه وسلم – ، أنه لبس
الخاتم في اليمنى وفي اليسرى ، ولا حرج في لبس الحديد من الساعة والخاتم لما ثبت
عن النبي ، – صلى الله عليه وسلم – ، في الصحيحين أنه قال للخاطب { التمس ولو
خاتماً من حديد } أما ما يروى عنه، – صلى الله عليه وسلم – ، في التنفير من ذلك
فشاذ مخالف لهذا الحديث الصحيح .
“Tidak mengapa memakai jam di
tangan kanan atau kiri sebagaimana cincin. Telah tsabit (shahih) dari Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau memakai cincin di kanan dan di kiri,
dan tidak mengapa memakai jam dan cincin dari besi, sebab telah tsabit dari
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam Shahihain, bahwa Beliau bersabda
kepada orang yang melamar: “Carilah mahar walau dengan cincin dari besi.” Ada
pun riwayat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menunjukkan agar hal
itu dijauhi adalah riwayat yang syadz (janggal) bertentangan dengan hadits
shahih ini.” (Fatawa Islamiyah, 4/324. Dikumpulkan dan disusun oleh Muhammad
bin Abdul Aziz Al Musnid)
Syaikh Muhammad bin Shalih
Utsaimin juga menjadikan hadits: “Carilah mahar walau dengan cincin dari besi,”
sebagai dalil bolehnya memakai cincin besi. (Syaikh Utsaimin, Fatawa Nur ‘Alad
Darb, No. 193)
Demikian tentang kebolehan
memakai cincin selain emas, beserta fatwa para imam, dan penjelasan dhaifnya
hadits yang melarangnya.
Wallahu A’lam
Oleh: Farid Nu’man Hasan